KERAJAAN ISLAM
DI PULAU SUMATERA
Kesultanan
Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan Samudra Pasai berdiri pada abad ke-13, tepatnya pada 1285
M. Kerajaan ini terletak di Pasai, Lhoksemawae, pantai timur laut Sumatra di
ujung utara. Kerajaan Samudra Pasai didirikan oleh seorang Laksamana Angkatan
Laut dari Mesir bernama Nazimuddin Al-Kamil. Ia lalu mengangkat Marah Silu
sebagai sultan pertama. Setelah dilantik sebagai sultan, Marah Silu bergelar
Sultan Malik As-Saleh.
Sepeninggal Sultan Malik As-Saleh, Kerajaan Samudra Pasai
diteruskan oleh Sultan Malik Tahir, anaknya. Sultan Malik Tahir adalah sultan
yang taat beragama dan giat berdakwah. Baginda membangun masjid dan banyak
meunasah/surau di seluruh pelosok negeri. Dengan demikian, Islam tersebar
sampai ke desa-desa.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik Tahir inilah Kerajaan
Samudra Pasai mengalami kejayaan. Rakyat mengalami kemakmuran dan kehidupan
beragama semarak. Hal ini dilukiskan oleh seorang musafir, Ibnu Batutah dari
Maroko yang membuat catatan dalam buku hariannya sebagai berikut : “Sultan
adalah pengikut agama Islam yang saleh. Baginda dan rakyatnya adalah pengikut
Mahzab Syafi’i. Pada Jumat Baginda pergi ke masjid dengan berjalan kaki yang
diikuti oleh rakyatnya. Saat pulang dari masjid, Baginda menunggang gajah dengan
beberapa pengawal saja. Rakyat sangat menghormati sultannya. Kehidupan rakyat
tampak makmur.”
Setelah Sultan Malik Tahir meninggal, Kerajaan Samudra
Pasai diteruskan oleh Zainal Abidin, anaknya. Pada masa pemerintahan Zainal
Abidin, Kerajaan Samudra Pasai mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena
adanya persaingan antara keluarga istana yang menyebabkan salah urus
pemerintahan. Akibatnya pemerintah pusat menjadi lemah yang akhirnya mendorong
daerah-daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Samudra Pasai berusaha melepaskan
diri dengan cara melakukan pemberontakan. Di samping itu, juga teradi serangan
dari Majapahit yang melakukan politik perluasan wilayah ke seluruh Nusantara.
Pada abad ke-15 nama Kerajaan Samudra Pasai sudah tidak terdengar lagi.
Kesultanan Aceh
Pada abad ke-16 muncuk Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh
terletak di Kotaraja, Banda Aceh. Semula, Kerajaan Aceh hanyalah sebuah
kerajaan kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Pedir. Seiring dengan dikuasainya
Malaka oleh portugis pada 1511, banyak ulama dan pejuang Islam di Kerajaan
Malaka mencari suaka politik di Kerajaan Aceh ini. Dalam perkembangan
berikutnya, Kerajaan Aceh menjadi sebuah kerajaan yang makin kuat karena
didukung oleh banyak pejuang militan dan orang cerdik cendekia.
Sultan Ali Mugayat Syah mulai menata pemerintahannya.
Pejabat yang mengurus bidang agama mendapat perhatian. Penghulu, imam masjid,
imam surau/meunasah dan pejabat agama tingkat desa/gampong diangkat. Sejalan
dengan itu, puluhan masjid dan ratusan meunasah didirikan. Dengan demikan,
agama Islam dipeluk oleh semua rakyatnya dan telah menjadi agama rakyat, bukan
hanya milik sultan dan kerabatnya.
Sultan Kerajaan Aceh yang sangat terkenal adalah Sultan
Iskandar Muda yang berkuasa pada 1607-1636 M. Pada masa Sultan Iskandar Muda
inilah Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan makin luas
yang mencapai semenanjung Malaka seperti Kedah, Perak, dan Pahang. Kehidupan
rakyat makin makmur. Dakwah Islam makin giat dan pengalaman keagamaan rakyat
makin meningkat.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda pada 1636, Kerajaan Aceh
diperintah oleh Sultan Iskandar Tsani, anaknya. Ternyata kepemimpinan Sultan
Iskandar Tsani tak secakap bapaknya. Pemerintahan makin lama makin tidak
efektif. Akibatnya pemerintahan tak bisa memajukan kehidupan rakyat. Rakyat
banyak yang tidak puas atas pemerintahan sultan dan kerabatnya. Kondisi ini
terlus berlanjut sehingga kerajaan menjadi sangat mundur.
Kondisi Kerajaan Aceh semakin melemah pada awal abad
ke-17. Sejak itu secara berangsur-angsur Kerajaan Aceh tidak bisa bertahan dan
akhirnya hanya tinggal nama saja.
Kesultanan Siak
Sri Indrapura
Di daerah Riau sekarang pada 1723 M berdiri kesultanan
Islam Siak Sri Indrapura. Kesultanan ini didirikan oleh Abdul Jalil Rahmat Syah
atau Raja Kecil, putra Sultan Mahmud II, penguasa Johor, Malaysia. Kesultanan
ini menjadi pusat penyebaran Islam di Sumatra Timur.
Abdul Jalil atau Raja Kecil digantikan oleh anaknya,
Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1760). Pada masa pemerintahan Abdul jalil
Muzaffar Syah ini, Kesultanan Siak melawan Belanda yang ingin memonopoli
perdagangan. Kesultanan Siak berhasil memenangkan peperangan ini dan dapat
memaksa Belanda mundur dari wilayahnya. Akan tetapi, pada peperangan yang kedua
pada 1858, Kesultanan Siak terpaksa menandatangani Traktat Siak. Isi Traktat
sangat merugikan Kesultanan Siak. Sebagian isinya adalah bahwa Belanda mengakui
otonomi Kesultanan Siak tapi Siak harus menyerahkan 12 daerah taklukannya.
Sejak ditandatanganinya Traktat Siak ini berangsur-angsur Kesultanan Siak
mengalami kemunduran.
Sultan terakhir Siak adalah Syarif Qasim II, yang
memerintah 1908-1946. Sultan Syarif Qasim II mempunyai pandangan yang modern.
Beliau mendirikan sekolah dasar (HIS) pada 1915 untuk anak-anak pribumi tanpa
membedakan status sosialnya dan Madrasah Al-Hasyimiyah (1917). Juga sekolah
untuk perempuan Latfah School (1926) dan Madrasah An-Nisa (1929). Sultan Syarif
Qasim II pada 1946 menyerahkan sepenuhnya daerah kesultanannya kepada
pemerintah Republik Indonesia. Atas jasanya nama Sultan Syarif Qasim II
diabadikan menjadi nama IAIN Pekanbaru, Riau.
KERAJAAN ISLAM DI PULAU JAWA
Kesultanan Demak
Kesultanan Demak pertama yang berdiri
di pulau Jawa adalah kesultanan Demak. Kesultanan Demak didirikan di Desa
Glagah Wangi. Daerah ini terletak di tepi pantai utara Jawa, sekarang termasuk
wilayah Propinsi Jawa Tengah. Pada saat itu, daerah ini termasuk wilayah
kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Demak muncul sebagai kerjaan Islam di
pulau Jawa berhubungan dengan munculnya masyarakat Islam di daerah
pesisir/pantai utara pulau Jawa. Hal ini terjadi karena makin banyaknya para
pedagang Muslim yang berkunjung di daerah ini seperti Surabaya, Gresik, Tuban,
Jepara, dan Demak. Berawal dari hubungan dagang inilah lalu banyak orang Jawa
tertarik memeluk agama yang dibawa pedagang Muslim tersebut, rela meninggalkan
agama lamanya yaitu Hindu atau Buddha. Disini tokoh-tokoh yang sangat berjasa
memperkenalkan Islam kepada orang Jawa adalah para Wali yang jumlahnya sembilan
(wali sanga).
Salah satu murid Sunan Ampel adalah
Raden Patah, anak Raja Majapahit (Brawijaya) dengan salah satu istrinya yang
berasal dari Campa (sekarang di perbatasan Kamboja dan Vietnam) yang beragama
Islam. Sebagai anak raja, Raden Patah diberi tanah jabatan di Desa Glagah
Wango. Pada waktu yang bersamaan, Kerajaan Majapahit makin lemah akibat
pemberontakan terus menerus yang dilakukan antar anak keturunan Prabu Hayam
Wuruk. Dengan keadaan seperti ini, Raden Patah dengan dukungan para tokoh Islam
yang sering dikenal dengan Wali Sanga, mendirikan kerajaan Islam di tanah
jabatannya tersebut.
Kerajaan Demak makin hari makin kuat.
Sebaliknya Kerajaan Majapahit makin lemah dan akhirnya hancur. Wilayah Kerajaan
Demak terus meluas. Ke timur sampai Surabaya. Ke barat, sampai Banten. Ke
selatan, sampai Yogya dan Ponorogo. Bahkan kekuasaannya sampai menyeberang ke
Palembang dan Banjarmasin.
Raden Patah terus melakukan pembenahan
pemerintahannya dan meningkatkan dakwah Islam. Para penasihat agamanya, Wali
Sanga, menyodorkan strategi dakwah Islam yang jitu. Mereka mengajukan rencana
dakwah Islam melalui pendekatan budaya, bukan dengan pendekatan militer atau
kekerasan fisik. Raden Patah menyetujuinya. Dengan demikian, dakwah Islam di
pulau Jawa dilakukan dengan kerja budaya, seperti memasukkan cerita Ajisaka,
Dewa Ruci dan Amir Hamzah; mengisi ritual Hindu atau Buddha dengan inti ajaran
tauhid tanpa mengubah bentuk luarnya seperti selamatan kematian 3 hari, 7 hari,
40 hari, 100 hari, dan 1000 hari; menggunakan wayang sebagai sarana dakwah;
menciptakan upacara-upacara Islam dengan corak Jawa seperti Selikuran
(peringatan Nuzulul Quran), riyaya (Salat Idul Fitri), Grebeg Bakda (perayaan
Idul Fitri), Grebeg Besar (perayaan Idul Adha), Grebeg Maulid (perayaan
memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW); menciptakan karya seni Islam
bercorak Jawa seperti gamelan, lagu/gending Jawa, Parikan, Syair dan lain-lain.
Raden Patah digantikan oleh Adipati
Yunus yang dikenal dengan nama Patiunus, anaknya. Adipati Yunus atau Patiunus
adalah anak lelaki tertua Raden Patah yang semula menjabat sebagai
Adipati/Bupati Jepara. Sebelum diangkat sebagai sultan, Patiunus dikenal dengan
julukan Pangeran Sabrang Lor karena sempat memimpin armada perang Demak ke
Selat Malaka untuk menyerang Portugis. Pangeran Sabrang Lor artinya pangeran
yang berani menyeberangi laut Jawa untuk menyerang penguasa Kristen di Malaka.
Peristiwa ini terjadi pada 1513 M, dua tahun setelah Protugis menduduki Malaka.
Portugis menjuluki Pangeran yang gagah berani ini dengan sebutan Ayam Jantan
dari Selatan. Meskipun misinya ini gagal tapi jihad Patiunus tersebut, memberi
semangat yang menyala-nyala kepada generasi berikutnya untuk terus melawan
kekuasaan asing yang merampas hak-hak bangsa Indonesia.
Patiunus memerintah tak lama, hanya dua
tahun. Takhta kerajaan lalu diperebutkan oleh kedua adiknya; Pangeran Seda
Lepen dan Raden Trenggono. Anak Raden Trenggono, Sunan Prawoto, membunuh
pamannya, Pangeran Seda Lepen. Dengan terbunuhnya Pangeran Seda Lepen, maka
Raden Trenggono naik takhta menjadi Sultan Demak menggantikan Patiunus.
Raden Trenggono melanjutkan kebijakan
yang telah diambil kakaknya. Perluasan wilayah terus dilakukan sehingga hampir
semua wilayah di pulau Jawa berada di bawah kekuasannya. Dakwah Islam terus
ditingkatkan sehingga Islam menjadi agama orang Jawa.
Sultan Trenggono wafat ketika melakukan
serangan ke Kerajaan Hindu, Blambangan. Baginda dibunuh oleh salah seorang
pengawalnya yang berkhianat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1546 M.
Wafatnya Sultan Trenggono secara mendadak
tersebut, menimbulkan kekacauan di pusat kekuasaan. Anggota keluarga inti
kerajaan melakukan perebutan kekuasaan. Arya Penangsang, anak Pangeran Seda
Lepen, membunuh Sunan Prawoto. Sunan Prawoto adalah anak Sultan Trenggono yang
dulu membunuh ayah Arya Penangsang (Pangeran Seda Lepen). Perebutan kekuasaan
ini akhirnya dimenangkan oleh menantu Sultan Trenggono yaitu Jaka Tingkir atau
Adiwijaya. Dalam suatu pertempuran Adiwijaya berhasil membunuh Arya Penangsang.
Dengan demikian, takhta kerjaan dipegang oleh Adiwijaya.
Sultan Adiwijaya lalu memindahkan pusat
kesultanan ke Pajang. Pajang adalah tempak kedudukan Adiwijaya sebagai bupati
sebelum dinobatkan sebagai sultan. Pemindahan pusat kekuasaan ke Pajang
didasarkan pada pertimbangan pada masih kuatnya penentangan para pengikut Arya
Penangsang dan sebagian penasihat agama, Wali Sanga, yang tidak setuju dengan
pengangkatan Adiwijaya sebagai Sultan Demak.
Kesultanan
Pajang
Dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke
Pajang maka berdirilah Kesultanan Pajang di dekat Surakarta sekarang. Sultan
Adiwijaya sebagai sultan pertama. Baginda mulai membangun kerajaannya mulai
dari nol.
Dalam perkembangannya Kesultanan Pajang mempunyai ciri
yang berbeda dengan Kesultanan Demak. Kesultanan Demak bercirikan budaya
pesisiran yaitu lebih demokratis, tidak menciptakan hubungan bertingkat-tingkat
antara satu status dengan status lain, lebih rasional dan mengutamakan nilai
Islam murni. Adapun Kesultanan Pajang lebih berdirikan budaya pertanian dan
pedalaman. Ciri-cirinya adalah penuh dengan pandangan mistik, tidak rasional,
menciptakan hubungan bertingkat antara orang penting dengan orang tidak
penting, feodalistik, mencampurkan antara nilai-nilai kejawen, Hindu-buddha,
dan Islam.
Sultan Adiwijaya memerintah sampai dengan 1582 M. Beliau
menyerahkan kekuasaan kepada Aryo Pangiri, menantunya (penguasa Demak). Aryo
Pangiri adalah anak Pangeran Prawoto atau cucu Sultan Trenggono. Aryo Pangiri
lalu mengangkat Pangeran Benowo, anak Adiwijaya menjadi Bupati Jipang, sebuah
wilayah di bawah Kesultanan Pajang.
Pengeran Benowo sangat kecewa pada Aryo Pangiri, karena
hanya diangkat sebagai bupati. Pangeran Benowo merasa berhak menjabat sebagai
sultan menggantikan ayahnya. Ia lalu minta bantuan pada Sutawijaya, saudara
angkatnya yang berkuasa di Mataram untuk melawan Aryo Pangiri. Duet Pangeran
Benowo dan Sutawijaya akhirnya dapat mengalahkan Arya Pangiri.
Dalam perkembangan berikutnya, Sutawijaya mendominasi
pemerintahan Pajang. Ia memang lebih cakap dan lebih berani daripada Sultan
Benowo yang lebih cenderung sebagai kiai/ulama. Menyadari kelemahannya, Sultan
Benowo lalu mengundurkan diri dari kehidupan politik. Ia lalu menekuni profesi
sebagai juru dakwah agama Islam. Ia menyerahkan takhta kepada Sutawijaya.
Sutawijaya kemudian mengangkat Gagak Bening. Pajang akhirnya sepenuhnya di
bawah kendali Mataram.
Kesultanan
Mataram
Kesultanan Mataram didirikan oleh Senopati atau
Sutawijaya pada 1582 M. Pusat kekuasaannya terletak di daerah selatan
Yogyakarta sekarang. Semula ia hanyalah bawahan Pajang. Ia diangkat oleh Sultan
Adiwijaya untuk membina masyarakat di daerah Mataram. Setelah Adiwijaya wafat,
ia menguasai Pajang dengan cara pertama membantu Pangeran Benowo dengan Gagak
Bening. Melaui cara ini, ia lalu menjadikan Pajang sebagai wilayah di bawah
kekuasaannya dan mengangkat diri sebagai Sultan Mataram.
Sutawijaya membangun Kerajaan Mataram dari nol. Masa
pemerintahannya disibukkan oleh upaya menstabilkan pemerintahannya. Ia menghadapi
perlawanan dari para bupati pesisir seperti Demak, Tuban, Pasuruan, dan
Surabaya. Akan tetapi, ia dapat menyelesaikan dengan baik kecuali Surabaya.
Sutawijaya wafat pada 1601 M. Ia digantikan oleh Mas
Jolang atau Panembahan Krapyak, anaknya. Mas Jolang mewarisi pemerintahan yang
belum stabil. Meskipun Madiun dan Kediri yang ikut memberontak sudah bisa
ditundukkan tapi Surabaya belum mau tunduk. Ia sempat minta bantuan pada VOC,
kongsi dagang Belanda di Batavia, untuk membantu menundukkan Surabaya tapi tidak
mendapat tanggapan.
Raden Mas Jolang/Panembahan Krapyak wafat pada 1613 M. Ia
digantikan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung berhasil membangun
Mataram menjadi kerajaan besar yang stabil dan kuat. Ia dapat menundukkan
Surabaya. Dengan demikian, seluruh wilayah Jawa bagian timur berada di bawah
kekuasaannya.
Baginda mempunyai ambisi yang kuat untuk menguasai
seluruh Jawa. Oleh karena itu, Sultan Agung ingin menundukkan Banten,
kesultanan yang masih merdeka, dan Batavia yang sudah dikuasai oleh Belanda
melalui bendera VOC.
Sultan Agung sangat benci pada VOC, karena VOC melakukan
praktik monopoli perdagangan yang sangat merugikan Mataram dan rakyat pada
umumnya. Oleh karena itu, beliau bertekad mengusir VOC dari tanah Jawa. Untuk
merealisasikan tekadnya tersebut, beliau melakukan persiapan penyerangan yang
matang. Beliau melatih prajurit-prajurit yang handal dan sakti mandraguna,
memilih panglima perang yang handal, dan melengkapi prajurit dengan
persenjataan yang cukup.
Di samping itu, beliau juga mempersiapkan bahan pangan
yang cukup sebagai persiapan untuk peperangan jangka panjang/memakan waktu
lama. Sebelum penyerangan dilakukan, beliau mengirim ribuan petani untuk
membuka lahan pertanian di sepanjang garis pantai timur dari Kendal sampai Bekasi.
Beliau memberi perintah kepada para petani tersebut untuk membuat
lumbung-lumbung padi di daerah masing-masing sebagai cadangan bahan pangan bagi
prajurit Mataram yang akan menyerang VOC.
Spada 1628 pasukan Sultan Agung melancarkan serangan ke
Batavia melalui darat. VOC sangat kewalahan atas seragangan yang dilancarkan
dari berbagai arah ini. J.P. Coen, Gubernur Jenderal VOC tewas dalam peristiwa
ini. Belanda segera minta bantuan tentara dari Maluku. Dengan pasukan yang
lebih besar, Belanda dapat melancarkan serangan balik. Pasukan Mataram mundur
ke daerah Bekasi. Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika mendapatkan
cadangan berasnya telah dibakar habis. Tampaknya para pengkhianat telah
membocorkan rencana ini kepada Belanda. Akibatnya tentara Mataram tidak bisa
bertahan lama. Serangan pertama ini gagal.
Sultan Agung tidak putus asa. Pada 1629 Sultan
melancarkan serangan lagi kepada Belanda di Batavia. Belajar dari kegagalan
serangan pertama, kali ini beliau membuat strategi baru. Tentara Mataram
melancarkan serangan melalui laut. Tampaknya Allah SWT belum berkehendak
memberi kemenangan pada pasukan Sultan Agung ini. Serangan kedua pun gagal.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1646 Kesultanan Mataram
berangsur-angsur mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena adanya perebutan
kekuasaan di kalangan istana dan campur tangan Belanda dalam pengangkatan
sultan.
Sultan Agung berjasa dalam memadukan budaya Jawa dengan
Islam. Kalender Jawa berdasarkan peredaran matahari diganti dengan dasar
peredaran bulan (hijriah). Nama-nama bulan dan hari Jawa disesuaikan dengan
nama bulan dan hari dalam penanggalan hijriah. Beliau menyalin kitab-kitab
syarit ke dalam bahasa Jawa. Beliau juga membuat kesenian Jawa yang bernapaskan
Islam.
Kesultanan
Cirebon dan Banten
Kesultanan didirikan oleh Fatahillah. Fatahillah adalah
panglima perang Kesultanan Demak. Ia juga menantu Sultan Trenggono. Saat Sultan
Trenggono berkuasa di Demak, ia memerintahkan Fatahillah menyebarkan Islam ke
arah barat pulau Jawa di samping untuk membendung pengaruh Portugis yang sudah
menjalin kerja sama dengan Kerajaan Hindu Pajajaran. Hal ini harus dilakukan
karena pada 1522 Portugis telah datang di Pajajaran di bawah pimpinan Henrique
Leme mengajak kerja sama perdagangan dan membendung pengaruh Isam Demak.
Pada 1526 Demak mengirimkan pasukan ke Cirebon di bawah
pimpinan Fatahillah. Misi ini membawa hasil gemilang. Cirebon dapat ditaklukkan
dalam waktu singkat karena mendapat bantuan dari masyarakat yang sudah memeluk
Islam. Fatahillah lalu melanjutkan ekspedisi ke Banten. Di Banten pun
Fatahillah mendapatkan kemenangan yang gilang gemilang. Dari Banten, ia
kemudian melancarkan serangan kepada Portugis yang menguasai pelabuhan Sunda
Kelapa (sekarang bernama Jakarta). Pada 22 Juni 1527 pasukan Fatahillah dapat
mengalahkan pasukan Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa. Namun Sunda
Kelapa lalu diubah menjadi Jayakarta, yang artinya kota kemenangan.
Fatahillah kemudian menjadi Sultan Cirebon. Akan tetapi,
setelah berusia 60 tahun beliau lebih banyak mencurahkan perhatian pada
kegiatan dakwah Islam. Beliau wafat dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di
Gunung Jati Cirebon.
Kesultanan diserahkan pada anak turunnya. Akan tetapi,
keadaannya makin mundur. Pada zaman Mataram, Kesultanan Cirebon dikuasai
Mataram. Kemudian oleh Susuhunan Mataram diserahkan kepada VOC Belanda.
Adapun Kesultanan Banten mengalami banyak kemajuan. Pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai puncak kejayaannya.
Sultan Ageng sangat berkeinginan mengusir Belanda dari Batavia yang sejak 1602
berhasil merebut Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia. Sultan sangat tidak
senang pada Belanda karena memaksakan sistem monopoli perdagangan.
Di pihak lain, Belanda juga ingin menaklukkan Sultan
Ageng karena menolak monopoli perdagangan. Demi mencapai maksud ini, Belanda
melakukan politik devide et impera, adu domba lalu kuasai. Belanda lalu merayu
Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa untuk melawan ayahnya dengan imbalan
akan dinaikkan takhta. Sultan Haji terbujuk rahuan Belanda tersebut. Ia lalu
memberontak kepada ayahnya sendiri dengan bantuan Belanda. Sultan Ageng
menyerah dan ditangkap oleh Belanda. Beliau lalu dibawa ke Batavia dan
meninggal di sana pada 1680 M.
KERAJAAN ISLAM DI PULAU SULAWESI
Di Sulawesi juga berdiri beberapa kesultanan Islam pada
abad ke-16. Kesultanan Islam yang terkenal adalah Goa dan Tallo. Orang yang
menyebutnya sebagai Kesultanan Makassar. Kedua kesultanan ini sangat besar
jasanya dalam penyebaran Islam di daerah Sulawesi Selatan khususnya dan
Sulawesi umumnya. Disamping kedua kesultanan tersebut juga ada Kesultanan Bone,
Wajo, Soppeng dan Lawu.
Kesultanan Goa dan Tallo adalah kesultanan merdeka yang
makmur. Keduanya menjalankan politik bebas artinya bebas berhubungan dengan
pihak manapun atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan. Oleh karena itu,
mereka menolak kerja sama dengan Belanda yang hendak memaksakan sistem monopoli
perdagangan. Sultan Alaudin dari Goa menolak dengan keras maksud Belanda tersebut.
Pada 1639 M Sultan Alaudin wafat. Kesulanan diteruskan
oleh anaknya, Muhammad Said. Sultan Muhammad Said meneruskan kebijakan ayahnya
yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Berkali-kali Belanda datang
menyodorkan kerja sama perdagangan tapi selalu ditolak.
Pada 1653 M Sultan Muhammad Said wafat. Beliau digantikan
oleh putranya, Hasanudin. Dalam menghadapi Belanda sikap Sultan Hasanudin sama
dengan sikap ayah dan kakeknya. Yaitu sama-sama anti Belanda. Bahkan sikap
Sultan Hasanudin lebih tegas lagi. Sultan Hasanudin menyerang benteng Belanda.
Menghadapi serangan Sultan Hasanudin, Belanda sangat
kewalahan. Armada lautnya kocar kacir. Pasukannya banyak yang terbunuh dalam
peperangan laut. Melihat keberanian dan kegigihan Sultan Hasanudin demikian,
Belanda memberi julukan kepadanya sebagai de Haav van de Osten, artinya Ayam
Jantan dari Timur.
Untuk menghadapi perlawanan Hasanudin yang gigih tersebut
Belanda menggunakan politik adu domba, devide et impera. Belanda membujuk Raja
Bone, Aru Palaka agar menyerang Makassar. Aru Palaka termakan bujuk rayu
Belanda tersebut. Ia akhirnya menyerang Makassar dengan bantuan Belanda.
Aru Palaka mau menyerang Makassar karena dendam dan
ambisi pribadi. Aru Palaka dan Hasanudin adalah raja yang saling bersaing pengaruh
dan berambisi memperluas kekuasaan. Dalam peringatan tersebut Hasanudin lah
yang menyerang. Aru Palaka dijadikan bawahan Hasanudin. Tampaknya Aru Palaka
tidak menerima perlakuan Hasanudin terhadap dirinya dan rakyat Bone yang pernah
dijadikan pekerja untuk membangun benteng di Makassar.
Kali ini Hasanudin kewalahan menghadapi pasukan gabungan,
Bone dan Belanda, tersebut. Pasukan Hasanudin makin terdesak dan akhirnya
menyerah. Belanda kemudian memaksa Hasanudin untuk menandatangani perjanjian
yang terkenal dengan Perjanjian Bongaya. Isinya antara lain, Makassar tidak
boleh berhubungan dengan bangsa asing kecuali Belanda untuk urusan perdagangan
dan mengakui kekuasaan VOC di makassar.
KERAJAAN ISLAM DI KEPULAUAN MALUKU
Kepulauan Maluku terdiri atas pulau-pulau yang terletak
antara pulau Sulawesi di barat dan pulau Papua di timur. Di kepulauan Maluku
berdiri kesultanan-kesultanan Islam yang sangat berjasa dalam menyebarkan agama
Islam di Indonesia Timur. Kesultanan yang terkenal adalah Ternate dan Tidore.
Di samping itu, masih ada beberapa kesultanan kecil yaitu Obi, Bacan,
Halmahera, dan Makyan.
Kesultanan Ternate dan Tidore adalah dua kesultanan yang
makmur. Keduanya aktif dalam mengembangkan dakwah Islam. Islam dapat tersebar
dan dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Maluku sampai ke Papua bagian barat
berkat jasa dua kesultanan ini.
Ketenangan dan ketenteraman Ternate dan Tidore terusik
ketika bangsa Barat datang ke wilayah ini. Bangsa Portugis dan Spanyol adalah
bangsa yang pernah dijajah oleh orang Islam Arab pada abad ke-8 sampai dengan
abad ke-15. Ketika Portugis dan Spanyol menjumpai Islam di Maluku maka sikap
dendam dan permusuhannya muncul.
Perlu kamu ketahui bahwa dorongan Portugis pergi ke dunia
Timur tidak persis sama dengan Belanda dan Inggris. Jika Belanda dan Inggris
lebih dimotivasi mencari rempah-rempah demi mendapatkan keuntungan ekonomi yang
besar, Portugis dan Spanyol membawa semboyan Gold, Glory, and Gospel atau Emas,
Kemasyhuran dan Injil. Artinya Portugis dan Spanyol dalam mencari dunia baru ke
Timur membawa misi : mencari emas atau uang sebanyak-banyaknya mendapatkan
kemasyhuran sebagai bangsa hebat tak terkalahkan, dan menyebarkan ajaran Injil
Kristen.
Di Maluku, Portugis mendekati Ternate sedangkan Spanyol mendekati
Tidore. Di sini Portugis dan Spanyol terlibat bersekongkol untuk membuat kedua
kesultanan ini berperang. Portugis seolah membantu Ternate dan Spanyol juga
seolah-olah membantu Tidore. Peperangan antara kedua kesultanan tersebut
membuat keduanya lemah. Akhirnya kedua kesultanan tersebut masing-masing
tergantung pada Portugis dan Spanyol : Ternate pada Portugis dan Tidore pada
Spanyol.
Dalam perkembangan berikutnya Portugis makin mendikte
Ternate. Sultan Hairun, penguasa tidak dapat menerima sikap Portugis yang ikut
campur terhadap kebijakan Ternate. Sultan Hairun akhirnya melawan Portugis.
Pasukan Ternate yang dibantu oleh rakyat dapat mendesak Portugis. Dalam kondisi
terdesak Portugis minta diadakan perundingan di benteng Sao Paulo. Akhirnya
keduanya sepakat untuk berunding. Delegasi Ternate dipimpin langsung oleh
Sultan Hairun sedangkan delegasi Portugis dipimpin oleh Gubernur Portugis di
Maluku, De Mosqitar. Akan tetapi, ketika perundingan tengah berlangsung
tiba-tiba masuk pasukan Portugis dan menangkap Sultan Hairun lalu membunuhnya.
Perbuatan Portugis seperti ini merupakan perbuatan biadab yang tidak sesuai
dengan etika politik dan pergaulan mana pun di dunia.
Perbuatan biadab Portugis tersebut membuat marah seluruh
rakyat Maluku. Putra Sultan Hairun, Sultan Baabullah melawan Portugis
mati-matian. Rakyat Ternate membantu Sultan dengan semangat yang menyala-nyala.
Bahkan Sultan Nuku dari Tidore yang pernah angkat senjata melawan Ternate
akibat provokasi Spanyol kali ini membantu Ternate melawan Portugis. Dengan
adanya perlawanan serempak dari seluruh rakyat Maluku akhirnya Portugis
hengkang dari Maluku.
0 comments:
Post a Comment