Pendahuluan
Jepang
dan Cina dapat kita katakan sebagai negara yang memiliki pengaruh yang besar di
Asia Timur. Dalam tulisan ini pengaruh tersebut lebih difokuskan pada bahasan
politik negara. Kedua negara ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan
terkait dengan sistem perpolitikannya. Terdapat perbedaan dalam kebijakan
politik yang diambil oleh pemerintah China dan Jepang dalam berbagai
aspek kehidupan negara masing-masing.
Dalam artikel yang dituliskan oleh James C.F. Wang,
perbedaan ini kemudian dianalisa kedalam beberapa bagian seperti budaya politik
dan perkembangan politik kedua negara, Locus
of Power yang melingkupi kepemimpinan, birokrasi dan institusi kenegaraan
kedua negara, proses politik di kedua negara yang mencakup pemilihan umum, partisipasi
masyarakat, partai dan grup politik, serta performa politik dan kebijakan
publik.
Tujuan
Mahasiswa
mampu untuk memahami dan menjelaskan tentang karakteristik perpolitikan di
China dan di Jepang serta mampu melakukan studi komparasi dari karakteristik
tersebut.
Sistem Politik China : Berkembang
dari Revolusi
Wang mengungkapkan bahwa budaya politik China mengalami
perkembangan dari yang awalnya berupa Autoritarian menjadi Anarki hingga
kemudian menjadi Totalitarian (Wang, 1997: 18). Budaya politik autoritarian
China berkuasa pada masa dimana terdapat emperor
yang menguasai sebuah dinasti, emperor
tersebut mempunyai kekuatan dan legitimasi yang besar dikarenakan ia dianggap
sebagai Son of Heaven. Pemujaan
sangat umum dilakukan untuk mengabadikan kharisma dan wibawa seorang emperor. Emperor pada masa autoritarian umumnya sangat menjaga kestabilan
antara masyarakatnya dengan alam, sehingga dapat dilihat bahwa Taoisme sangat
mempengaruhi budaya berpikir masyarakat China pada masa ini. Pada masa ini
pemberontakan umum dilakukan untuk menggulingkan emperor dan dinastinya sehingga kemudian terbentuklah dinasti
baru. Terdapat total 24 dinasti pada masa autoritarian China, sebelum gempa
dahsyat kemudian menghancurkan Beijing pada tahun 1976 dan membuat kematian Mao
Zhedong menjadi tanda berakhirnya masa authoritarianisme-empire China (Wang, 1997: 19).
Selanjutnya Confucianisme
lahir menjadi sebuah filosofi yang mempengaruhi budaya politik China. Sistem
imperealisme diterapkan dan penguasa baru dipilih berdasarkan seleksi
masyarakat atas beberapa kriteria seperti kompetensi, merit, dan profesionalisme. Kandidat pemimpin imperial ini kemudian
dipilih berdasarkan kemampuan dan pengetahuannya atas ajaran Confucius. Hanya kandidat yang lolos provincial examination saja yang dapat
menjabat sebagai pejabat pemerintah terendah (Wang, 1997:20). Confucianism sebagai ideologi negara
pada masa itu dianggap lebih berpengaruh terhadap kebijakan politik China
karena Confucianism dapat disebut
juga sebagai authoritarianism.
Keduanya sama-sama mementingkan legitimasi benar dan salah daripada anggapan
mengenai ‘mandate of heaven’ seperti
yang dipergunakan oleh pemerintah China pada masa sebelumnya. Pada masa ini
China juga menjalin hubungan dengan orang asing/westerners namun dengan cara mengisolasi keberadaan mereka di
wilayah pelabuhan, hal ini tidak lepas dari anggapan orang China terhadap
bangsa lain yang merupakan bangsa barbar (Wang, 1997: 22).
Modernisasi pertamakali diterapkan di China pada masa
pemimpin partai Nasionalis, Chiang Kai-Shek pada tahun 1927-1937. Seluruh aspek
kehidupan kemudian diperbaiki, tentara modern dibangun Chiang untuk menjaga
China dari serangan asing, warlords
dan gerilyawan komunis. Kondisi ini terus berlangsung ketika Mao Zhedong
memimpin China hingga kematiannya pada tahun 1967. Setelah kematiannya, China
kemudian dipimpin oleh Deng Xiaoping yang kemudian membuka pintu bagi investasi asing dan membangun reformasi
agrikultural di China. Bahkan setelah ia diturunkan, reformasinya terhadap
China masih tetap dilakukan hingga kini (Wang, 1997: 24).
Karakteristik
yang paling melekat pada sistem perpolitikan China yakni kuatnya pengaruh
komunisme baik dalam tataran pemerintah maupun masyarakatnya. Pembentukan
Republik Rakyat Cina sendiri menjadi sebuah bukti nyata komunisme memiliki
pengaruh yang sangat kuat di negara asal kebudayaan kawasan Asia Timur ini.
Sistem kongres rakyat menjadi hal yang paling fundamental dari sistem politik
di Cina. “The people’s congresses have
four main functions and powers: legislation, supervision, appointment and
removal of officials, and making decisions on major issues”(Anon,2008)
Kongres ini menjadi sedemikian penting bagi pemerintahan dan rakyat Cina.
Sistem Politik Jepang : Dari
Feodalisme hingga Demokrasi Konstitusional
Berbeda dengan China, Jepang mempunyai struktur politik
yang Feodalisme yang
kemudaian berubah menjadi Dominasi Militer pada masa perang dunia hingga menjadi
Demokrasi Konstitusional. Pada masa feodalisme yang dimulai ketika periode Takugawa berakhir
pada tahun 1185-1867, pemerintah feodal Jepang mendelegasikan autoritas imperialnya kepada Shogun yang menggunakan militer untuk
mengabdi kepada emperor(Wang, 1997:
25). Selain Shogun, terdapat Daimyo dan Samurai yang mengabdi kepada negara dibawah feodalisme emperor Jepang pada masa itu. Kelompok
masyarakat Jepang terbagi kedalam beberapa kelas yang berbeda yakni; samurai,
petani, tukang kayu/batu, dan pedagang dimana kesemua kelas tersebut diwajibkan
membayar pajak kepada pemimpin. Keluarga merupakan sebuah corporate entity yang memengaruhi budaya politik Jepang, sementara nilai sosial
yang paling berkarakter adalah loyalitas dan ketaatan. Kedua hal ini
dipengaruhi oleh filosofi Confucianism
yang masuk ke Jepang melalui orang-orang Korea yang pada masa itu merupakan
kawasan imperial China (Wang, 1997: 27). Konsep harmoni merupakan konsep
lainnya yang sering dipergunakan masyarakat Jepang selain rasa kekeluargaan,
loyalitas dan ketaatan, konsep ini menekankan kepada akomodasi, hubungan baik,
kompromi, dan kesatuan yang pada saat ini ditekankan pada kinerja produksi
industri (Wang, 1997: 28). Semua konsep diatas merupakan konsep yang
memengaruhi keadaan politik Jepang pada masa tersebut.
Keadaan politik Jepang kemudian berubah ketika emperor
Mutsushito membentuk sebuah konsep modernisasi yang diberi nama restorasi
Meiji pada tahun 1869. Restorasi ini ditandai dengan pemindahan istana
kerajaan dari Kyoto ke Tokyo dan modernisasi ekonomi, teknologi dan edukasi
diterapkan, kelas sosial tradisional yang ada pada masa sebelumnya dihapuskan
dan sistem konstitusional dibentuk. Sistem inilah yang kemudian
melatarbelakangi keinginan Jepang untuk menjadi negara yang powerful di Asia dan dunia sehingga
membuat Jepang yang pada saat itu dibawah pemerintahan kaisar Hirohito yang
merupakan cucu dari kaisar Meiji membentuk kepemimpinan yang berada dibawah
kekuatan militer (Wang, 1997: 33). Agresi militer terhadap China
merupakan salah satu
operasi miter yang terjadi pada masa tersebut hingga kemudian berakhir pada
akhir perang dunia II. Keterlibatan Jepang dengan bangsa asing dimulai ketika
Jepang menandatangani pakta dengan Nazi
Jerman dan Fasis Italia, ketika
kemudian kubu poros mengalami
kekalahan, Jepang terlibat kedalam perjanjian damai dengan Amerika Serikat atau
SCAP (Supreme Command of Allied Power)
yang terdiri dari 7 poin penting yang mempengaruhi segala aspek kehidupan
Jepang hingga saat ini. 7 poin tersebut adalah demobiliterisasi kekuatan
militer Jepang dan abolisi angkatan darat dan laut Jepang, sehingga dapat
memastikan bahwa Jepang tidak mempunyai kapasitas untuk berperang. Kedua adalah
diterapkannya batasan untuk me-limitasi adanya sikap ultra-nasionalis masyarakat
Jepang, hal ini mengakibatkan dihukumnya seluruh pemimpin perang Jepang yang
terdakwa sebagai penjahat perang internasional. Ketiga adalah penghapusan
aturan monopoli dan kepemilikan aset perusahaan keluarga yang besar. Keempat,
diperkuatnya institusi demokratis dan pembentukan strong labor unions. Kelima, reformasi pengaturan kepemilikan tanah
dan reformasi dilakukan oleh SCAP. Keenam, perkenalan sistem pendidikan dasar
Amerika pada masayarakat Jepang, dan ketujuh, adalah pengaturan SCAP akan electoral law yang memperbolehkan wanita
yang sudah berumur 20 tahun untuk memberikan suaranya di pemilihan umum (Wang,
1997: 37)
Dalam
perkembangannya, karakteristik dari perpolitikan Jepang saat ini lebih condong
ke arah monarki konstitusional dengan sistem pemerintahan parlementer. Raja
hanya hadir sebagai simbol negara, bukan sebagai pemimpin negara. Seperti yang
dijelaskan oleh Roger Darlington, “Japan
is a constitutional monarchy (like Britain) where the power of the Emperor is
very limited. As a ceremonial figurehead, he is defined by the constitution as
"the symbol of the state and of the unity of the people"
(Darlington, 2011). Bila dilihat dari badan eksekutif pemerintah Jepang, yang
menjadi pemimpin dalam pemerintahan Jepang adalah perdana menteri. Perdana Menteri
ini akan dipilih setiap empat tahun sekali, dengan syarat Perdana Menteri yang
akan dipilih ini sebelumnya merupakan pilihan dari badan legislatif Jepang.
Badan legislatif dari Jepang ini sendiri terdiri dari dua kamar yang biasa
disebut dengan sistem bikameral, yaitu House
of Representative dan House of
Council. Badan Legislatif ini disebut dengan Diet atau Kokkai.
House of Representative dalam sistem perpolitikan Jepang
dianggap sebagai kelas rendah, sedangkan House
of Council adalah kelas tinggi. HoR
ini disebut dengan Shugi-in,
sedangkan HoC disebut dengan Sangi-in. Dalam mengambil keputusan,
badan legislatif ini menggunakan suara mayoritas, sedangkan untuk beberapa
kasus tertentu mereka menggunakan 2/3 dari suara mayoritas.(Darlington,2011). Sebenarnya
bentuk pemerintahan atau sistem perpolitikan dari Jepang ini digunakan karena
ada pengaruh dari Inggris dan Amerika Serikat Pasca perang dunia II. Penggunaan
monarki konstitusional dengan dasar sistem parlementer dapat dikatakan sebagai
ciri khas dari negara Jepang.
Perbandingan Sistem Politik Jepang
dan China
Persamaan dari sistem perpolitikan kedua negara ini
adalah, negara Jepang dan negara Cina sama-sama mengalami evolusi yang cukup
panjang dalam sistem perpolitikannya. Dari kedua sistem politik baik di Jepang maupun di Cina juga
terpengaruh oleh konfusianisme. Perbedaan antara sistem politik Jepang dan Cina
adalah jelas terlihat bahwa Jepang menggunakan sistem yang lebih demokratis
dibandingkan dengan sistem perpolitikan Cina yang cenderung komunis, kemudian
walaupun sama-sama beranjak melalui revolusi namun kedua sistem politik negara
ini tidak memiliki awalan yang sama, Jepang diawali dengan sistem yang feodal,
sedangkan Cina berangkat dari sistem yang identik dengan aristokrat militer
dengan Shogun atau Jenderal sebagai
pemimpinnya. Sistem politik Jepang saat ini terpengaruh oleh nilai-nilai dari
Amerika Serikat dan Inggris, sedangkan Sistem politik Cina terpengaruh oleh Uni
Soviet yangmasuk lewatpenyebaran komunisme.
Kesimpulan
Negara
Jepang dan China merupakan negara yang mendapatkan pengaruh konfusianisme pada
awal perkembangannya. Namun seiring dengan interaksinya dengan berbagai negara,
perkembangan politik di Jepang dan China menjadi berbeda. Di Jepang, system
politiknya lebih dipengaruhi oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat
dan Inggris, sedangkan di China lebih terpengaruh komunisme yang dibawa oleh
Uni Soviet. Hal yang menarik di sini adalah walaupun keduanya memiliki arah
perkembangan politik yang berbeda, namun dari sisi perkembangan ekonomi dan
sosialnya sama-sama mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jepang dan China
termasuk dalam kelompok negara dengan tingkat perekonomian tertinggi di dunia.
Kata Kunci :
Otoritarianisme,
Komunisme, Feodalisme, Monarki Konstitusional, Demokrasi
Guiding Questions:
- Bagaimana karakteristik perpolitikan di Jepang?
- Bagaimana karakteristik perpolitikan di China?
- Bandingkan sistem perpolitikan di Jepang dan di China!
- Apa saja persamaan dan perbedaan dari sistem politik di kedua negara tersebut?
Daftar
Pustaka
Buku:
Wang, James C. F. 1997. Comparative Asian
Politics. New Jersey: Prentice Hall
Internet
: Darlington, Roger. 2011. A Short Guide
to The Japan’s Political System [online] tersedia dalam
http://www.rogerdarlington.me.uk/Japanesepoliticalsystem.html
0 comments:
Post a Comment