.

Sunday, November 18, 2012

Wayang, Indonesia

R.D.K holdings S.A

Wayang adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Dan untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Warisan Dunia pada tahun 2003. 

Tak ada bukti yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu menyebar di Asia Selatan. Diperkirakan seni pertunjukkan dibawa masuk oleh pedagang India. Namun demikian, kejeniusan local, kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu menyatu dengan perkembangan seni pertunjukkan yang masuk memberi warna tersendiri pada seni pertunjukkan di Indonesia. Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukkan wayang berasal dari Prasasti Balitung di Abad ke 4 yang berbunyi “si Galigi mawayang”. Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah ada, seni pertunjukkan ini menjadi media efektif menyebarkan agama Hindu, dimana pertunjukkan wayang menggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata.

Demikian juga saat masuknya Islam, ketika pertunjukkan yang menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang, munculah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, dimana saat pertunjukkan yang ditonton hanyalah bayangannya saja, yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit.

Untuk menyebarkan Islam, berkembang juga wayang Sadat yang memperkenalkan nilai-nilai Islam.

Apa itu Wayang? Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”.  Jika ditinjau dari arti filsafatnya “wayang” dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain. Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera. Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya.  Di samping itu, seorang dalang kadang kadang juga mempunyai seorang pembantu khusus untuk dirinya, yang bertugas untuk mengatur wayang sebelum permainan dimulai dan mempersiapkan jenis tokoh wayang yang akan dibutuhkan oleh dalang dalam menyajikan ceritera. Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan. Dialah yang memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan. Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut.

Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).  Desain lantai yang dipergunakan dalam permainan wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, seorang dalang dibatasi oleh alas yang dipakai untuk menancapkan wayang.

Dalam pertunjukan wayang dikenal set kanan dan set kiri.  Set kanan merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri adalah tempat tokoh-tokoh angkara murka. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk memperagakan berbagai setting/dekorasi dan pergantian adegan biasanya dipakai symbol berupa gunungan.

Pertunjukan wayang bisa dilakukan pada siang maupun malam hari, atau sehari semalam.  Lama pertunjukan untuk satu lakon adalah sekitar 7 sampai 8 jam.  Instrumen musik yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap adalah gamelan Jawa pelog dan slendro, tetapi bila tidak lengkap yang biasa digunakan adalah jenis slendro saja.  Vokalis putri dalam iringan musik yang disebut waranggono bisa satu orang atau lebih.  Di samping itu, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wirasuara, yang jumlahnya 4 sampai 6 orang dan bertugas mengiringi waranggana dengan suara “koor”.  Vokalis pria ini bisa disediakan khusus atau dirangkap oleh penabuh gamelan, sehingga penabuh gamelan adalah juga penggerong. Dalam menentukan lakon yang akan disajikan seorang dalang tidak bisa begitu saja memilih sesuai dengan kehendaknya. Ia dibatasi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah:
(1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan;
(2) kepercayaan masyarakat sekitarnya;
(3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.

Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut. Seperangkat wayang kulit misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana.  Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak. Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh yang ada dalam wayang-wayang tersebut memang sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu. Dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang. Sebagian masyarakat misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan.  Apabila pantangan ini dilanggar, orang yakin bahwa keluarga tersebut akan mengalami kesusahan.  Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya.  Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang. Untuk suatu upacara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan juga tertentu. Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan adalah “Kondure Dewi Sri” (Pulangnya Dewi Sri), sedangkan untuk upacara ngruwat lakonnya adalah Batara Kala. Selain batasan-batasan ini lakon wayang sering kali juga ditentukan oleh permintaan penanggap atau atas kesepakatan antara pihak dalang dan penanggap wayang.

Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia pendapat dari beberapa ahli dapat digunakan sebagai pedoman untuk memaparkan hal ini. Salah satu pendapat yang didukung oleh data yang kuat disampaikan oleh Sri Mulyono. Mengenai timbulnya pertunjukan wayang ini Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit dalam bentuknya yang asli, yaitu dengan segala sarana pentas / peralatannya yang serba sederhana, yang pada garis besarnya sama dengan yang sekarang kita lihat, yaitu dengan menggunakan wayang dari kulit diukir (ditatah), kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya, sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, sedangkan timbulnya jauh sebelum kebudayaan Hindu datang. Pertunjukan wayang kulit ini pada dasarnya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju “Hyang”, dilakukan di malam hari oleh seorang medium (syaman) atau dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dengan mengambil ceritera-ceritera dari leluhur atau nenek moyangnya. Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna memohon pertolongan dan restunya apabila keluarga itu akan memulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas. Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman Neohithik Indonesia atau pada ± tahun 1500 SM. Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang. Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap namun tetap mempertahankan fungsi intinya, yaitu sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan sistim kepercayaan dan pendidikan.  Berkenaan dengan perkembangan kesenian wayang ini sebagai ibu kota kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habiranda pada tahun 1925 di Yogyakarta.  Kini para dalang lulusan sekolah Habiranda banyak tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, ternyata ada beberapa jenis yaitu: Wayang Kulit/ Purwa; Wayang Klithik; Wayang Golek dan Wayang Orang.

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 4:29 AM Kategori:

0 comments:

Post a Comment

 
iNet Squared Ltd
Incubationer LTD