Bapak
Sosiologi Indonesia,
Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo
Soemardjan (88), meninggal dunia Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit
Harapan Kita, Jakarta, karena komplikasi jantung dan stroke. Sosiolog yang
mantan camat kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1915 ini dikebumikan di Pemakaman
Kuncen, Yogyakarta, hari Kamis 12/6/03 pukul 12.00 WIB. Penerima Bintang
Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama
Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir
hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (UI).
Almarhum
meninggalkan contoh yang baik, teladan, bukan hanya bgi keluarga tetapi bagi
kerabat dan masyarakat umum. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi
teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan.
Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena
masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang
sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia
orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus,
bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana
diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo,
integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan
kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta
nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang
yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia
seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak
maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya
bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas
menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi
kepada masyarakat.
Tidak
heran jika banyak kalangan yang melayat ke rumah duka menyampaikan
belasungkawa. Di antaranya Dekan FISIP UI Gumilar Rusliwa Sumantri dan Rektor
UI Usman Chatib Warsa, Wakil Rektor Arie S Soesilo, mantan Mendikbud Fuad
Hassan, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI Miriam Budiardjo, mantan Ketua LIPI
Taufik Abdullah, Ketua LIPI Anggara Jeni, Ketua LKBN Antara Muhammad Sobary,
tokoh pers Jacob Oetama, pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo, Sosiolog
Paulus Wirutomo, rohaniwan dan budayawan Mudji Sutrisno SJ, Melly G Tan,
sejarawan Taufik Abdullah, politisi dan musisi Eros Djarot serta antropolog
Prof Dr Ichromi.
Selama
hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan
Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III
Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan,
Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten
Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden
HM Soeharto.
Ia
dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih
gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas Indonesia
(UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus
1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30
Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri
FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai
akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI.
Ia
dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor
Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama
aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama
Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara
khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya
masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai
sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya
Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali,"
tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya
sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif
pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo
dengan peneliti lain.
Mendiang
Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak
Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia
menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan
bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong
mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang
diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui
keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi
dan kalifah," tulis Lopa.
Meski
lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka
"mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru
dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk
mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau
menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh
yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.
Dalam
tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi
mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung
kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Sebagai
ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in
Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian
terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima
Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak
peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam
bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
0 comments:
Post a Comment